Oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
Di sebagian kesempatan, kami pernah menyaksikan seorang bocah cilik menampar dan memukul wajah temannya, tanpa merasa bersalah.
Ketika ditanya dan dinasihati agar jangan memukul wajah teman, maka ia beralasan bahwa itu cuma canda dan gurau.
Ia menganggap bahwa memukul orang boleh dan bebas saja, tanpa aturan!!
Kesalahan dan kejadian ini membekas dalam lubuk hati kami, yang mendorong kami agar sedikit berbicara seputar aturan pukul-memukul dalam syariat Islam yang suci.
Di sisi lain, disana ada sekelompok manusia yang menganggap bahwa memukul adalah perkara yang dilarang secara total, sehingga ia menyangka bahwa dalam dunia pendidikan –misalnya- tak boleh memukul anak didik, walaupun itu adalah pukulan mendidik. Ini jelas kesalahan berpikir!!!
Syariat Islam yang indah ini memiliki sikap dan posisi pertengahan: tidak membolehkan pemukulan secara mutlak dan tidak pula melarang secara mutlak.
Jika ia adalah pukulan yang dibutuhkan, maka ia adalah terapi pendidikan yang tepat dan efektif. Namun tentunya pukulan itu tidaklah berlebihan sampai menyebabkan tubuh anak memar atau terluka.
Di dalam Al-Kitab, Allah menyebutkan bolehnya seorang suami memukul istri yang melakukan nusyuz(pembangkangan dan kedurhakaan) di hadapan suami.
Sang istri tak mau lagi menurut dalam perkara yang ma’ruf. Nasihat dan pisah tempat tidur pun tak lagi bermanfaat.
Nah, tak ada jalan lain lagi, maka disinilah dibolehkan suami memukul istrinya dengan pukulan yang tidak melampaui batas.
Allah –Ta’ala– berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا [النساء : 34]
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.(QS. An-Nisaa’ : 34)
Penafsir Ulung, Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu-berkata,
تَهْجُرُهَا فِي الْمَضْجَعِ، فَإِنْ أَقْبَلَتْ، وَإِلاَّ فَقَدْ أَذِنَ اللهُ لَكَ أَنْ تَضْرِبَهَا ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلاَ تَكْسِرْ لَهَا عَظْمًا
“Engkau tinggalkan ia (istri) di tempat tidur. Jika ia menghadap (bertobat), maka itulah yang diharap. Namun jika tidak, maka sungguh Allah telah mengizinkan bagimu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas dan janganlah engkau mematahkan tulangnya”. [HR. Ath-Thobariy dalam Jami’ Al-Bayan *(8/314/no. 9382)]
Ketika memukul seseorang karena ada alasan yang dibenarkan, maka hendaknya seseorang menghindari wajah. Karena wajah merupakan kemuliaan seseorang dan padanya terdapat alat dan organ tubuh yang vital dan peka.
Tak heran bila Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang seseorang dari memukul wajah dan menyakitinya.
Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairiy -radhiyallahu anhu-berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apa hak seorang istri diantara kami atas suaminya?” Beliau bersabda, “Memberinya makan, bila engkau makan; memberinya pakaian, bila kau berpakaian; dan janganlah engkau memukul wajah, jangan berkata buruk dan jangan memboikotnya, kecuali di rumah”. [HR. Abu Dawud (no. 2142), Ibnu Majah (no. 1850) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5/5/no. 20045). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Marom (no. 244)]
Ulama Negeri India, Syamsul Haqq Al-Azhim Abaadiy –rahimahullah– berkata menjelaskan sebab larangan itu,
“فإنه أعظم الأعضاء وأظهرها ومشتمل على أجزاء شريفة وأعضاء لطيفة، وفيه دليل على وجوب اجتناب الوجه عند التأديب.” اهـ من عون المعبود – (6 / 127)
“Karena, wajah adalah anggota badan yang paling agung dan paling tampak serta memiliki organ-organ tubuh yang mulia lagi lembut. Nah, di dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya menjauhi wajah di saat memberi pelajaran (yakni, hukuman)”.[Lihat Awnul Ma’bud *(6/127), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H]
Hadits ini menunjukkan larangan memukul wajah, baik saat bercanda, apalagi sungguhan!!
Di dalam hadits ini juga terdapat hujjah yang menjelaskan haramnya PERMAINAN TINJU, karena di dalam tinju seorang pemain boleh memukul wajah lawannya.
Sama dengan tinju, olah raga bela diri yang membolehkan memukul wajah.
Karenanya, kami nasihatkan kepada para pelatih bela diri agar jangan mengajarkan kepada anak didiknya untuk memukul wajah saat berlatih atau bertanding.
Para pembaca yang budiman, memukul bukanlah perkara yang tercela secara mutlak, bahkan ia adalah salah satu diantara sarana ta’dib (pengajaran) yang memberikan manfaat bila dibutuhkan.
Di dalam Islam, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-memberikan bimbingan kepada para orang tua selaku pendidik pertama di rumah agar menggunakan sarana memukul ini, bila seorang anak –misalnya- engganmelaksanakan sholat diusia 10 tahun.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anakmu melaksanakan sholat di usia tujuh tahun dan pukullah karena meninggalkan sholat di usia 10 tahun serta pisahkanlah diantara mereka dalam hal tempat tidur”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 495). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah(no. 572)]
Al-Alaqiy –rahimahullah– berkata saat mengomentari hadits ini,
“إنما أمر بالضرب لعشر لأنه حد يتحمل فيه الضرب غالبا والمراد بالضرب ضربا غير مبرح وأن يتقي الوجه في الضرب.” اهـ من تحفة الأحوذي – (2 / 370)
“Hanyalah orang tua diperintah untuk memukul anaknya di usia 10 tahun, karena usia seperti itu merupakan batas seorang anak mampu menanggung (menghadapi) pukulan pada galibnya. Yang dimaksud dengan “pukulan” adalah pukulan yang tidak membekas dan hendaknya wajah dihindari”.[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy *(2/370), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah]
Jadi, memukul terkadang menjadi sarana jitu dalam meluruskan dan mengarahkan seorang manusia. Karena, memang manusia memiliki karakter dan tabiat yang berbeda serta pelanggaran yang berlainan.
Sebagian orang terkadang cukup dengan nasihat, ia sudah sadar. Sebagian lagi, ada yang sadar bila ditegur dengan tegas. Ada juga yang tak sadar, kecuali diberi pukulan yang menyadarkannya.
Seorang peminum khomer (minuman yang memabukkan) atau pecandu narkoba, ia tak akan sadar, kecuali ia dipukuli.
Sahabat Abu Hurairah –radhiyallahu anhu– berkata,
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ قَالَ اضْرِبُوهُ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ وَالضَّارِبُ بِنَعْلِهِ وَالضَّارِبُ بِثَوْبِهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ أَخْزَاكَ اللهُ قَالَ لَا تَقُولُوا هَكَذَا لَا تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ
“Pernah didatangkan seorang laki-laki yang telah minum khomer kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau bersabda, “Pukullah dia!!” Abu Hurairah berkata, “Diantara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya dan yang memukul dengan pakaiannya (setelah dipilin). Tatkala selesai (dari memukul), maka sebagian orang berkata, “Semoga Allah menghinakanmu!!” Beliau bersabda, “Janganlah kalian mengucapkan hal seperti ini; janganlah membantu setan atasnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6777)]
Pemukulan juga pernah terjadi di zaman Umar –radhiyallahu anhu– ketika beliau menyaksikan orang yang berbuka di bulan Ramadhan.
Abdullah bin Abil Hudzail Al-Anaziy –rahimahullah– berkata,
كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عُمَرَ، فَجِيْءَ بِشَيْخٍ نَشْوَانَ فِيْ رَمَضَانَ، قال: وَيْلَكَ، وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ؟ فَضَرَبَهُ ثَمَانِيْنَ
“Aku pernah duduk di sisi Umar, lalu didatangkanlah seorang bapak tua yang mabuk di bulan Ramadhan. Umar berkata, “Celaka engkau!! Apakah anak-anak kecil kami saja berpuasa?” Kemudian beliaupun memukul bapak tua itu sebanyak 80 kali”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya secara mu’allaq, Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (no. 17043), Ibnu Sa’ad dalamAth-Thobaqot Al-Kubro(6/115) dan Ibnul Ja’ad Al-Jauhariy dalam Al-Musnad (no. 595)]
Dari sekian keterangan dari Al-Qur’an, Sunnah dan kalam para ulama, kita dapat menarik kesimpulan bahwa memukul dalam Islam merupakan sarana pendidikan dan pengajaran yang dianjurkan dalam agama.
Namun pukulan itu tentunya tidak berlebihan sampai memberikan bekas atau luka dan hendaknya pukulan yang dilakukan bukan tertuju pada wajah.
Semua ini menunjukkan kesalahan pemikiran sebagian praktisi pendidikan yang menyatakan bahwa memukul dalam dunia pendidikan, tak boleh secara mutlak, dan seorang guru boleh saja dituntut jika memukul anak didiknya!!!
Subhanallah, jelas pemikiran seperti ini salah!! Sebab syariat kita membolehkan hal itu sesuai kadar dan batasannya.Memang betul bahwa memukul bukanlah segalanya dalam mengatasi problema anak didik. Tapi ia merupakan salah satu diantara terapi yang dibenarkan dalam agama.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar