Senin, 23 Januari 2017

Menata Adab dan Akhlak sebelum Jauh Melangkah

Oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. -hafizhahullah-


Sebuah kesalahan para penuntut ilmu, ia hanya mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Namun ia lupa menghiasi dirinya dengan adab-adab islami kepada yang lain : kepada ustadz, ilmu, kitab, kawan-kawan, tetangga, masyarakat, orang tua dan lainnya.
Tak heran bila di zaman ini, kita akan menjumpai manusia-manusia durhaka kepada guru dan ustadznya yang telah mengajarinya sekian banyak jenis ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
Semua itu dibalas dengan adab dan akhlak buruk kepada gurunya, sampai ada diantara mereka yang meng-ghibahi gurunya, menghukuminya sebagai orang sesat, sementara itu ia tak menasihatinya.
Gelar-gelar buruk tak luput dari lisannya sehingga manusia yang berjasa dalam hidupnya ia gelari dengan “kadzdzab”(tukang dusta), dajjal, pencuri dan sederet gelar-gelar hina ia sematkan kepada sang guru.
Di sudut sana, ada segelintir manusia rendah yang punya kebiasaan CURIGA dan buruk sangka kepada gurunya dan punya hobi menguntit aib dan kesalahan-kesalahan gurunya. Padahal gurunya adalah seorang yang berjalan di atas sunnah.

Kadang pun diantara mereka, ada yang menasihati gurunya, layaknya menasihati anak kecil dengan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak sopan dan rada merendahkan dan menggurui.
Lebih parah lagi, bila golongan manusia durhaka seperti ini membuat asumsi-asumsi negatif dan kabar miring tentang diri gurunya yang telah membinanya selama ini, disebabkan ia hanya mendengar berita qila wa qola (kabar burung) tentang gurunya. Padahal berita-berita itu belum jelas ujung pangkal dan asal-muasalnya. Susu dibalas tuba.
Tak heran bila para salaf dan orang tua mereka senantiasa mewanti-wanti anak-anak mereka jika mereka mengutusnya kepada seorang guru agar si anak betul-betul menjaga watak dan perangainya di depan guru (syaikhnya).
Imam Darul Hijroh, Imam Malik bin Anas Al-Ashbahiy -rahimahullah-  bercerita tentang kisah awalnya menuntut ilmu:
كانت أمي تلبسني الثياب وتعممني وأنا صبي وتوجهني إلى ربيعة بن أبي عبد الرحمن وتقول لي تأتي أنت مجلس ربيعة فتعلم من سمته وأدبه قبل أن تتعلم من حديثه وفهمه ” مسند الموطأ – (1 / 95)
“Dahulu ibuku mengenakan pakaianku dan memasangkan surbanku, sedang aku masih kecil serta mengarahkanku kepada Robi’ah bin Abi Abdir Rahman, seraya ibuku berkata kepadaku, “Engkau akan mendatangi majelisnya Robi’ah. Karenanya, pelajarilah perangai dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan pemahamannya”. [AR. Musnad Al-Muwaththo’(1/95) oleh Abul Qosim Al-Jawhariy]
Perhatikanlah ibu dari Imam Malik. Yang pertama beliau pesankan pada anaknya agar mengambil dan mempelajari adab gurunya.
Pesan mulia ini terus teringat dalam benak beliau sampai saat beliau menjadi guru.
Suatu hari, saat Imam Malik telah menjadi guru dan rujukan umat, jika menemukan penuntut ilmu pemula, maka beliau nasihatkan agar mempelajari dan memperhatikan adab dulu sebelum jauh terjun dalam mengkaji dan mempelajari ilmu-ilmu lain.
Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahiy –rahimahullah– berkata kepada seorang pemuda Quraisy,
((يا ابن أخي تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم))
“Wahai anakku, pelajari adab sebelum engkau mempelajari ilmu”. [HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Awliya’ (6/330)]
Pesan beliau ini kepada si pemuda Quraisy merupakan hasil didikan seorang ibu yang cerdik.
Hal itu terus terukir dalam relung hatinya, sampai pun beliau sudah menjadi imam dan ulama tersohor di zamannya, beliau tetap mengingat pesan dan petuah emas yang diberikan oleh sang ibu kepada beliau.
Inilah kebiasaan turun-temurun di tengah para penuntut dari kalangan salaf.
Mereka amat memperhatikan adab, akhlak dan perangai gurunya (syaikh atau ustadznya), bukan seperti di zaman ini, kebanyakan orang hanya memperhatikan kemampuan retorikanya dan candaan dari para ustadznya.
Ada juga yang cuma mencari-cari kekurangan sang sang (guru) dan berdusta atas namanya. Na’udzu billahi min dzalik.
Sementara akhlak dan adab sang guru tidak mereka perhatikan, dan tidak pula mereka contoh untuk kemudian ia mengejawantahkannya dalam akhlak dan kepribadiannya.
Para pembaca yang budiman, sekarang ada baiknya kita menyimak kisah ajaib dari para salaf yang menggambarkan hebatnya perhatian mereka terhadap akhlak gurunya.
Dari Al-Husain bin Ismail dari bapaknya, ia (bapaknya) berkata,
كَانَ يَجتَمِعُ فِي مَجْلِسِ أَحْمَدَ زُهَاءُ خَمْسَةِ آلاَفٍ أَوْ يَزِيدُوْنَ، نَحْوُ خَمْسِ مائَةٍ يَكْتُبُوْنَ، وَالبَاقُوْنَ يَتَعلَّمُوْنَ مِنْهُ حُسْنَ الأَدَبِ وَالسَّمْتِ.
“Dahulu orang-orang berkumpul di majelis Ahmad sekitar 5000orang atau lebih. Sekitar 500 orang menulis, sedang sisanya mempelajari dari beliau adab dan perangai yang baik”. [LihatSiyar A’lam An-Nubala’ (11/316)]
Mereka mengambil akhlaq dan adab dari gurunya melalui lisan atau perbuatan gurunya.
Bukan main, para penuntut ilmu dahulu bertahun-tahun “menghinakan diri” di depan gurunya untuk mengambil ilmu dan adab dalam tenggang waktu puluhan tahun.Subhanallah, tekad yang hebat.
Abu Bakr Ya’qub bin Yusuf Al-Muthowwi’iy –rahimahullah– berkata,
اخْتَلَفتُ إِلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ثِنْتَي عَشْرَةَ سَنَةً، وَهُوَ يَقْرَأُ (المُسْنَدَ) عَلَى أَوْلاَدِهِ، فَمَا كَتَبْتُ عَنْهُ حَدِيْثاً وَاحِداً، إِنَّمَا كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى هَدْيِهِ وَأَخلاَقِهِ.
“Aku berbolak-balik kepada Abu Abdillah (yakni, Imam Ahmad) selama 12 tahun, sedang beliau membaca Al-Musnad di depan anak-anaknya. Aku tak pernah menulis dari beliau sebuah hadits. Aku hanyalah memandang kepada petunjuk dan akhlaknya”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (11/316)]
Luar biasa! Keikhlasan dalam mencari ilmu dan kebaikan membentuk sosok dan pribadi para salaf. Tak ada diantara mereka yang hadir di majelis, melainkan mereka ingin mencari kebaikan! Mereka tidak ingin mencari popularitas, apalagi mencari aib gurunya.
Adapun di zaman kita ini, maka keikhlasan itu telah hilang dari lubuk hati kita, sehingga disana-sini kita menemukan berbagai keganjilan dan keganjalan dalam bermuamalah dengan ustadz selaku gurunya. Akibatnya, sang guru ia perlakukan bagaikan orang yang tak bernilai.
Di hari ini, sungguh kita butuh kepada akhlak. Syaithon menipu dirimu bahwa engkau adalah seorang ihkwah yang multazim (berpegang) dengan sunnah, namun akhlakmu masih morat-marit.
Jika engkau benar adalah seorang yang multazim dengan sunnah, maka ketahuilah bahwa sunnah itu akan memberikan pengaruh baik pada dirimu. Lalu kenapa pengaruh sunnah tidak tampak pada dirimu?!
Disinilah anda perlu bertanya, “Apakah ilmu yang selama ini aku pelajari, bermanfaat bagiku?”
Di saat kejujuran dan keikhlasan itu tercabut dari dirimu, maka keberkahan sunnah akan tercabut dari diri dan kehidupanmu.
Disinilah tampak bagi kita rahasia kesabaran para salaf dalam menempa akhlak mereka selama puluhan tahun.
Sebab, watak manusia laksana besi keras yang bengkok. Ia memerlukan waktu yang lama dalam menempa, meluruskan dan membentuknya agar menjadi indah dan berguna.
Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarok Al-Marwaziy –rahimahullah– berkata,
طَلَبْتُ الأَدَبَ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً، كَانُوْا يَطْلُبُوْنَ اْلأَدَبَ ثُمَّ الْعِلْمَ
“Aku telah mencari (mempelajari) adab selama 30 tahun dan aku mencari (mempelajari) ilmu selama 20 tahun. Dahulu mereka (para salaf) mencari (mempelajari) adab, lalu (setelah itu) ilmu”.[Lihat Tartib Al-Madarik (3/39) oleh Al-Qodhi Iyadh, cet. Mathba’ah Fadholah, dan Ghoyah An-Nihayah fi Thobaqot Al-Qurro’ (1/446/no. 1885) oleh Abul Khoir Ibnul Jazariy, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1351 H]
Demikian secuil nukilan dari kehidupan para salaf, generasi terbaik dalam menegakkan agama.
Mereka adalah kaum yang dikenal memelihara adab dan menghiasi diri mereka dengannya. Semakin banyak ilmunya, maka semakin baik pula adabnya. Semakin ilmunya berisi, maka semakin tampak pula sifat merendah dan tawadhu’-nya.
Adapun generasi sekarang, sebagian orang diantara mereka, semakin banyak ilmunya, maka semakin congkak dan kurang ajar.
Sebagian diantara mereka ada yang berlagak bagaikan orang awam yang jahil!! Tidak segan-segan ia membeberkan aib gurunya, menyebarkannya, dan membentuk opini buruk tentang diri gurunya.
Wahai saudaraku yang masih memerlukan akhlak, sadarkah engkau bahwa ilmu yang engkau pelajari belumlah bermanfaat bagi dirimu. Cobalah engkau koreksi dirimu yang juga masih banyak kekurangan dan aibnya. Andaikan engkau adalah seorang berilmu dengan ilmu yang nafi’ (bermanfaat), maka pasti ilmu itu akan menempa dan mengubah pribadimu yang buruk.
Tapi mengapa akhlakmu masih demikian buruk?! Itu artinya, anda masih perlu memeriksa keikhlasan, dan kejujuranmu dalam belajar, atau engkau masih membutuhkan waktu panjang dalam menempa akhlak burukmu.
Adab merupakan hiasan yang amat berharga pada diri seorang penuntut ilmu, bahkan adab lebih berharga dibandingkan seorang istri dan anak yang hilang.
Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy –rahimahullah– bahwa Imam Asy-Syafi’iy –rahimahullah– pernah ditanya, “Bagaimana engkau mencari (mempelajari) adab?”
Imam Syafi’iy –rahimahullah– menjawab,
طلب المرأة المضلة ولدها، وليس لها غيره
“(Aku akan mencari adab) seperti halnya seorang wanita yang kehilangan dalam mencari anaknya, sedang ia tidak memiliki anak selainnya”. [Lihat Tadzkiroh as-Sami’ wal Mutakallim(hal. 41), cet. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabiy, 1424 H]
Nilai seorang penuntut ilmu bukanlah dilihat dari banyak ilmu yang ia kumpulkan, namun dilihat dari adab yang menghiasi dirinya. Apalah arti banyak ilmu, namun diri masih berlumuran dengan akhlak buruk kepada ustadz (selaku guru), kerabat, tetangga, dan lainnya.
Seorang tabi’ut tabi’in, Makhlad bin Al-Husain –rahimahullah– berkata,
نحن إلى كثيرٍ من الأدبِ أَحْوَجُ منا إلى كثيرٍ من الحديثِ
“Kita ini lebih butuh kepada adab yang banyak dibandingkan banyak hadits”. [HR. Al-Khothib dalam Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rowi (no. 11)]
Subhanallah, pertanyaan yang luar biasa. Alangkah benarnya ucapan beliau. Ini adalah ucapan dan pernyataan yang lahir dari sebuah ilmu dan pengalaman.
Jika di masa itu saja, seorang salaf berkata demikian, maka pasti di zaman kita jauh lebih pantas kita katakan demikian. Sebab, terlalu banyak realita dan fenomena miris yang mewarnai kehidupan ini, dimana banyaknya bermunculan ulah dan tindakan amoral dan di luar etika dari seorang murid kepada ustadz gurunya, hanya karena persoalan-persoalan remeh dan kesalahpahaman.
Ketahuilah bahwa menempa akhlak adalah urusan yang teramat susah! Ia lebih susah dibanding memindahkan sebuah gunung. Ini terlihat dari banyaknya manusia yang diberi ilmu oleh Allah –Tabaroka wa Ta’ala-, namun ia belum mampu mengentaskan dirinya dari kubang akhlak buruknya!
Itulah sebabnya Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– selalu berdoa meminta pertolongan kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- agar diberi akhlak yang baik dan dijauhkan dari akhlak yang buruk, serta mengajarkan doa-doa itu kepada umatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar