بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan:
Apakah termasuk syarat pernikahan adanya keridhoan kedua mempelai untuk menikah? Lantas bagaimana dengan sebagian masyarakat yang dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya? Apakah dihukumi tidak sah ? Dan hubungan yang terjadi antara mereka dikatakan perzinaan?
Jawab:
Iya, tidak boleh seorang wanita dinikahkan kecuali dengan persetujuannya, sebagaimana hadits Abu Hurairoh Rasulullah bersabda:
لا تنكح الثيب حتى تستأمر و لا تنكح البكر حتى تستأذن وإذنها سكوتها
"Tidak boleh dinikahkan seorang janda sampai dimintai pendapatnya tentang calon suami tersebut lalu dia menyetujuinya dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dia menyetujui hal tersebut dan salah satu tanda setujunya adalah dengan diamnya kalau ditanya masalah pernikahan tersebut" diriwayatkan Al-Bukhori dan Muslim
Berkata Ibnu Utsaimin:
إجبار المرأة على أن تتزوج بمن لم ترده فإن هذا محرم شرعا والنكاح لا يصح اللهم إن تجيزه بعد
"Memaksa seorang wanita untuk menikah dengan seseorang yang tidak dia senangi merupakan perkara yang diharamkan kecuali dia menyetujuinya setelah akad"
(Lihat Fatawa nur alad darob 10/136)
Adapun kalau telah dinikahkan oleh walinya dalam keadaan tidak ridho maka diserahkan padanya jika setuju setelah akad maka pernikahah sah dan kalau tidak maka pernikahan tidak sah, sebagaimana hadits Ibnu Abbas:
أن جارية بكرا أتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة فخيرها النبي صلى الله عليه وسلم
"Bahwa seorang gadis datang ke Rasulullah shollahu alaihi wasallama dan mengkhobarkan bahwa bapaknya menikahkannya dalam keadaan dipaksa maka Rasulullah menyerahkan hal tersebut pada pilihannya(kalau wanita tersebut setuju maka sah dan jika tidak maka tidak sah) diriwayatkan Abu Dawud(1845) dan dishohihkan Al-Albani.
Berkata Ibnu Qudamah rahimahulloh:
إذا زوجت التي يعتبر إذنها بغير إذنها وقلنا يقف على إجازته
"Jika menikahkan seorang wanita tanpa persetujuannya yang diharuskan izin atasnya maka sah atau tidaknya tergantung dari persetujuannya setelah itu"
Dan termasuk persetujuannya adalah melakukan sesuatu yang menunjukkan atas ridhonya dengan pernikahan tersebut seperti mau berhubungan intim atau meminta maharnya ataupun lainnya yang hanya dilakukan suami istri, maka keadaan tersebut dihukumi sah.
Berkata Ibnu Qudamah:
والمطالبة بالمهر والنفقة والتمكين من الوطء دليلا على الرضى لأن ذلك من خصائص العقد الصحيح
"Jika seorang wanita meminta maharnya atau nafkah serta mau berhubungan intim maka itu merupakan tanda setuju dan ridhonya karena hal tersebut hanya dilakukan oleh orang telah melakukan akad nikah dengan sah". Lihat Al_Mughni 9/282.
Berkata Ibnu 'Utsaimin rahimahulloh:
لكن أهل العلم يقولون إن المرأة إذا ادعت أنها مكرهة بعد أن دخل الزوج عليها فإن قولها لا يقبل ولا ينفسخ النكاح لأجل دعواها هذه لأن تمكينها من الدخول يدل على أنه راضية اللهم أن تكون لها بينة على أنها أدخلت عليه قهرا فإنها يبقى الحكم والخيار لها
"Akan tetapi para Ulama mengatakan:Apabila perempuan mengaku dipaksa setelah berhubungan intim dengan suaminya maka perkataan ini tidak diterima dan pernikahan sah karena maunya untuk berhubungan intim dengan suaminya, menunjukkan keridhoannya kecuali kalau dia menunjukkan bukti bahwa dia dipaksa saat dimasukkan pada suaminya maka keadaan ini dia masih mempunyai pilihan untuk tetap sebagai istri atau tidak".
(Lihat Al-Fatawa Nur Ala Darob (10/ 131-132,)) (Juga lihat catatan kaki pada zil jalali wal ikrom 4/486).
Akan tetapi kalau perempuan tersebut merasa tidak setuju dengan akad maka boleh baginya untuk mengangkat permasalahannya pada pihak pemerintah,sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang disebutkan di atas bahwa perempuan datang kepada Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam.
Berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafidzahulloh:
في هذا الحديث دليل على أن فسخ النكاح من اختصاص الحاكم ...لئلا تحصل الفوضى على الناس
"Maka dalam hadits diatas menunjukkan bahwa yang berhak membatalkan pernikahan hanya dilakuakan pihak pemerintah ....dan ini dilakukan agar tidak terjadi kekacauan pada masyarakat". (Lihat Tashil Al-Almam 4/332).
Berkata Al-Lajnah:
إذا لم ترض بهذا الزواج فيرفع أمرها إلى المحكمة لتثبيت العقد أو فسخه
"Bila wanita tidak setuju dengan akad tersebut maka dia mengadukan permasalahannya pada pengadilan untuk menentukan apakah akad tersebut sah atau tidak". (Lihat Fatawa Lajnah 18/ 126).
Begitu pula orang tua tidak boleh memaksa anak laki-lakinya untuk menikahi wanita yang dia tidak dia senangi.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh:
ليس لأحد الأبوين أن يلزم الولد بنكاح من لا يريد وأنه إذا امتنع لا يكون عاقا
"Tidak boleh salah satu dari kedua orang tua untuk memaksa anak laki-lakinya untuk menikah dengan seorang wanita yang dia tidak senangi".
Lihat Al-Fatawa juz: 32/30, Lihat juga perkataan Ibnu 'Utsaimin yang semakna dengannya (Fatawa Nur al_Addarob 10/136) dan Lajnah (18/137)
Kesimpulan:
(1) Salah satu syarat sahnya nikah adalah ridho dari kedua mempelai
(2) Seorang wanita apabila dipaksa menikah oleh walinya dalam keadaan tidak setuju maka urusannya diserahkan padanya jika setuju setelah akad maka nikahnya sah dan jika tidak maka dia mengangkat permasalahannya pada pihak pemerintah
(3) Tanda setujunya perempuan tersebut dengan mengucapkan persetujuan secara lisan atau melakukan hal-hal yang merupakan kekhususan yang dilakukan suami istri
(4) Tidak diterima pengakuan perempuan yang sudah berhubungan intim dgn suaminya, karena perbuatannya tersebut menunjukkan keridhoannya kecuali ada bukti yang menunjukkan bahwa dia dipaksa melakukan hal tersebut maka dia berhak untuk melaporkan pada pihak pemerintah.
(5) Kalaupun wanita tidak setuju dengan pernikahan tersebut lalu suaminya memaksa untuk berhubungan intim maka tidak bisa dikatakan zina karena disini ada syubhat
/ketersamaran apalagi mereka menganggap pernikahan tersebut adalah sah, Umar berkata:
ادرءوا الحدود بالشبهات
"Cegalah had(hukuman) disaat ada ketersamaran (syubhat)"
Berkata Ibnu Qudamah:
ذهب أكثر أهل العلم إلى أنه لا حد مع الشبهة
"Jumhur(paling banyak) dari ulama tidak boleh ditegakkan hukum pada saat ada syubhat"
Bahkan Ibnul-Munzir menukilkan kesapakatan ulama atas hal tersebut (Lihat Taudhih Ah-Ahkam 6/246)
والله أعلم
Yaman, Ma'bar
Abu Bakar Rafi` bin Ladukani Al-Buthoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar