Sabtu, 25 Februari 2017

AKHIR SEBUAH PERJALANAN


Oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
Berakhirnya tahun, hendaknya menjadi ibrah(pelajaran) dan bahan renungan bagi kaum beriman bahwa segala sesuatu yang ada di dunia memiliki awal dan akhir.
Tumbuhan yang ada di sekitar kita, muncul berupa tunas sampai ia menjadi pohon yang besar, menjulang dan lebar. Akhirnya, ia punah tertelan bumi.
Bangunan yang bermula dengan susunan bebatuan dan lainnya sampai ia berwujud rumah atau yang lainnya. Akhirnya zaman berlalu sedikit demi sedikit sampai bangunan itu mengalami perubahan dan kerusakan hingga ia runtuh!!
Lihatlah kaum Tsamud yang dahulu memiliki kehebatan dan kejayaan dalam arsitektur sampai mereka membuat bangunan rumah megah di gunung-gunung kokoh!!! Namun semuanya berujung dengan kehancuran!!!!

Kemana peradaban manusia-manusia tempo dulu yang pernah menghiasi sejarah?!! Kini tinggal cerita rakyat. Kalaupun masih ada yang tersisa, tinggal menunggu waktu kehancurannya.
Begitulah cerita kehidupan manusia di alam dunia ini. Kehidupan dunia yang fana ini ibarat sebuah perjalanan yang akan berakhir pada batas yang telah ditentukan oleh Allah Pencipta dan Pemilik alam semesta.
Allah –Tabaroka wa Ta’ala– berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ  [الحديد : 20]
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, (kehidupan dunia) seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, lalu menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadiid 57 : 20)
Ahli Tafsir Negeri Syam, Al-Hafizh Abul Fidaa’ Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,
هكذا الحياة الدنيا تكون أولا شابة، ثم تكتهل، ثم تكون عجوزًا شوهاء، والإنسان كذلك في أول عمره وعنفوان شبابه غضا طريًّا لين الأعطاف، بهي المنظر، ثم إنه يشرع في الكهولة فتتغير طباعه وَيَنْفَد بعض قواه، ثم يكبر فيصير شيخًا كبيرًا، ضعيف القوى، قليل الحركة، يعجزه الشيء اليسير.” اهـ من تفسير ابن كثير / دار طيبة – (8 / 24)
“Demikianlah kehidupan dunia. Pertama, ia muda belia, lalu dewasa, berikut menjadi tua renta. Manusia juga demikian di awal umur dan kedewasaannya berupa manusia yang segar bugar lagi lembut anggota-anggota badannya, indah rupanya. Kemudian ia mulai menua seraya terjadi perubahan pada pembawaannya dan hilanglah sebagian energinya. Setelah itu, ia terus menua sampai menjadi tua renta lagi lemah tenaganya, berkurang gerakannya. Ia tak mampu lagi melakukan sesuatu yang ringan”.[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/24), cet. Dar Thoybah]
Kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang fana dan sementara. Banyak diantara kita yang tak menyadari hal itu atau bermasa bodoh seakan-akan ia adalah anak-anak dunia yang akan terus abadi bermain dan bersenda gurau di atasnya.
Dunia yang penuh perhiasan yang indah lagi hijau ini melalaikan mata dan hati mereka dari hakikat dunia yang akan hancur berantakan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengingatkan kita dalam sabdanya,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai kholifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Lantaran itu, waspadailah dunia, dan waspadailah wanita, sebab awal fitnah (masalah) di kalangan Bani Isra’il adalah pada wanita”. [HR. Muslim dalamAdz-Dzikr wa Ad-Du’a’ (no.6883)]
Manusia yang lalai ini betul-betul lalai mempersiapkan bekal perjalanan hakikinya menghadap Allah Robbul alamin.
Dia pun bergumul dengan berbagai warna-warni maksiat mulai dari berjudi, bermain perempuan, makan riba, menzholimi orang.
Sebagian anak-anak dunia lalai melakukan amal sholih sebagai tabungannya. Mungkin saja ia jauh dari maksiat, namun ia lalai mengisi hari-harinya dengan amal sholih dan ketaatan, sehingga lembaran pahalanya blank (kosong) dari catatan-catatan kebaikan.
Hari-harinya hanya diisi dengan amalan sia-sia yang tiada guna. Ia memiliki angan-angan yang panjang sehingga ia menunda-nunda waktunya berbuat baik dan bertobat sampai dijemput ajal yang akan merenggut segalanya.
Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu anhu-, ia berkata,
ارْتَحَلَتْ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتْ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلَا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ
“Dunia akan pergi berlalu dan akhirat akan datang menjelang, sedang setiap dari keduanya memiliki anak-anak. Karenanya, jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak dunia!! Sesungguhnya hari ini (di dunia) adalah beramal, tanpa pembalasan. Namun esok (di akhirat) ada pembalasan dan tak lagi beramal”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya, bab: fil amal wa tuulih (1/3220) secara mu’allaq, Ibnul Mubarok dalam Az-Zuhd (no. 255), Ahmad dalam Az-Zuhd (hal. 130), Ibnu Abid Dun-ya dalam Qishorul Amal (no. 49), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/76), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (no. 10130)]
Seorang mukmin harus selalu menyibukkan dirinya dengan ibadah dan ketaatan, segera bertobat bila ia durhaka, jangan terlalu sibuk dengan dunia sampai ia meninggalkan kewajiban-kewajiban syariat, sebab perjalanan menuju akhirat adalah sebuah kepastian!!
Janganlah seseorang terhalang dari semua itu dengan sebab angan-angan panjangnya yang selalu membisikinya, “Waktu masih panjang, Allah itu Maha Pemurah lagi Maha Pengampun…Nantilah kau bertobat…Nantilah kau beramal”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy –rahimahullah– berkata saat mengomentari atsar Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu-,
“ويتولد من طول الأمل الكسل عن الطاعة، والتسويف بالتوبة، والرغبة في الدنيا، والنسيان للآخرة، والقسوة في القلب، لأن رقته وصفاءه إنما يقع بتذكير الموت والقبر والثواب والعقاب وأهوال القيامة.” اهـ من فتح الباري- تعليق ابن باز – (11 / 237)
“Akan lahir dari angan-angan panjang, perasaan malas dari ketaatan, menunda-nunda tobat, cinta dunia, lupa akhirat dan kerasnya hati. Karena, kelembutan dan kejernihan hati hanyalah terjadi dengan mengingat mati, kuburan, pahala, siksaan dan huru-hara di hari kiamat”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy(11/237), cet. Darul Fikr]
Seorang harus menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan untuk mengambil dan mempersiapkan bekal menuju akhirat.
Karenanya, seseorang bila berada di waktu pagi, janganlah berangan-angan bahwa akan hidup di waktu sore. Sebaliknya, bila ia hidup di waktu sore, maka janganlah berangan-angan bahwa umurnya masih panjang sampai waktu pagi.
Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhu– berkata,
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِي أَهْلِ الْقُبُورِ، فَقَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ: إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالْمَسَاءِ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالصَّبَاحِ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ غَدًا
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah memegang sebagian anggota badanku seraya bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan engkau orang asing, atau musafir yang melintasi jalan, anggaplah dirimu dalam golongan penghuni kubur”. Ibnu Umar berkata kepadaku (yakni, rawi hadits), “Bila engkau berada di waktu pagi, maka janganlah engkau membisiki jiwamu tentang adanya waktu sore. Bila engkau berada di waktu sore, maka janganlah engkau membisiki jiwamu tentang adanya waktu pagi. Karena, sesungguhnya engkau tak tahu apa sebutanmu di hari esok, wahai Abdullah”.  [HR. Al-Bukhoriy (6416), At-Tirmidziy (2333) dan Ibnu Majah (4114)]
Al-Imam Abu Zakarriyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy –rahimahullah– berkata,
وقال النووي رحمه الله : “معنى الحديث : لا تركن إلى الدنيا ولا تتخذها وطنا ولا تحدث نفسك بالبقاء فيها ولا تتعلق منها بما لا يتعلق به الغريب في غير وطنه انتهى.” اهـ من تحفة الأحوذي – (6 / 515)
“Maknanya hadits ini, janganlah engkau condong kepada dunia dan janganlah menjadikannya sebagai kampung halaman (yakni, terminal akhir) serta janganlah membisiki jiwamu untuk tetap tinggal padanya dan janganlah bergantung dari dunia pada sesuatu yang tak bergantung dengannya seorang asing (musafir) di selain kampungnya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/515) karya Al-Mubarokfuriy, cet. Darul Kutub]
Di dalam hadits ini, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– memperumpamakan seorang hamba yang berjalan menuju akhirat dengan “seorang yang asing” atau “seorang musafir yang melintasi jalan”.
Ia diserupakan dengan “orang asing”, sebab orang asing biasanya kurang terbuka di hadapan manusia, bahkan ia merasakan kurangnya kedekatan dengan mereka.
Karena, hampir-hampir ia tak melewati orang yang ia kenal, sehingga ia pun merasa dekat dengannya dan lebih banyak bergaul dengannya. Jadi, ia merasa rendah lagi khawatir.
Adapun ia diserupakan dengan “musafir yang melintasi jalan”, sebab seorang musafir tak akan berlalu dalam safarnya, kecuali karena ia mampu bersafar dan ringan dari segala beban, tanpa bergantung kepada sesuatu yang menghalanginya dari menempuh safarnya. Bersamanya, ada bekal dan tunggangan yang akan menyampaikannya ke tujuan. [Lihat Fathul Bari (11/234)]
Ini semua menunjukkan bahwa seorang hamba dalam dunia ini harus lebih mengutamakan sikap zuhud (perendahan) terhadap dunia dan mengambil bekal dan rezeki dari dunia dengan sekadarnya.
Jika seorang musafir tak butuh kepada bekal  (harta) yang melebihi kadar yang dapat menyampaikannya kepada tujuan, maka seorang mukmin pun dalam perjalanan kehidupannya menuju akhirat tak butuh kepada bekal (harta) yang melebihi kadar yang dapat menyampaikannya ke tempat tujuan (yakni, surga).

Sebab jika ia mengambil lebih dari itu, maka ia akan tersibukkan dengannya dan lalai dari maksud atau ia akan capek, bahkan binasa sebelum sampai tujuan. [Lihat Syarah Shohih Al-Bukhoriy (10/148-149) karya Abul Hasan Ibnu Bathhol Al-Qurthubiy, dengan tahqiq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, cet. Maktabah Ar-Rusyd, 1423 H]
http://markazdakwah.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar